Minggu, 12 Mei 2013

Konsep nilai dan Sistem nilai budaya



Istilah nilai merupakan sebuah istilah yang tidak mudah untuk diberikan batasan secara pasti. Ini disebabkan karena nilai merupakan sebuah realitas yang abstrak (Ambroisje dalam Kaswadi, 1993) . Menurut Rokeach dan Bank (Thoha, 1996) nilai adalah suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup system kepercayaan di mana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai suatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan. Ini berarti hubungannya denga pemaknaan atau pemberian arti suatu objek.

Nilai juga dapat diartikan sebagai sebuah pikiran (idea) atau konsep mengenai apa yang danggap penting bagi seseorang dalam kehdiupannya (Fraenkel dalam Thoha, 1996). Selain itu, kebenaran sebuah nilai juga tidak menuntut adanya pembuktian empirik, namun lebih terkait dengan penghayatan dan apa yang dikehendaki atau tidak dikehendaki, disenangi atau tidak disenangi oleh seseorang. Allport, sebagaimana dikutip oleh Kadarusmadi (1996:55) menyatakan bahwa nilai adalah: “a belief upon which a man acts by preference. It is this a cognitive, a motor, and above all, a deeply propriate disposition”. Artinya nilai itu merupakan kepercayaan yang dijadikan preferensi manusia dalam tindakannya. Manusia menyeleksi atau memilih aktivitas berdasarkan nilai yang dipercayainya. Ndraha (1997:27-28) menyatakan bahwa nilai bersifat abstrak, karena itu nilai pasti termuat dalam sesuatu. Sesuatu yang memuat nilai (vehicles) ada empat macam, yaitu: raga, perilaku, sikap dan pendirian dasar.

Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai merupakan suatu keyakinan atau kepercayaan yang menjadi dasar bagi seseorang atau sekelompok orang untuk memilih tindakannya, atau menilai suatu yang bermakna atau tidak bermakna bagi kehidupannya. Sedangkan sistem nilai adalah suatu peringkat yang didasarkan pada suatu peringkat nilai-nilai seorang individu dalam hal intensitasnya. Dengan demikian untuk mengetahui atau melacak sebuah nilai harus melalui pemaknaan terhadap kenyataan-kenyataan lain berupa tindakan, tingkah laku, pola pikir dan sikap seseorang atau sekelompok orang.

Pentingnya Nilai

Sebagimana ditegaskan oleh Robbins (1991:158) “Values are important to the study organizational behavior because they lay the foundation for the understanding of attitudes and motivation as well as influencing our perceptions. Indiviuals enter an organization with preconceived nations of what ‘ougth’ and what ‘outght not’ to be. Of course, these nations are not value free”. Nilai-nilai penting untuk mempelajari perilaku organisasi karena nilai meletakkan fondasi untuk memahami sikap dan motivasi serta mempengaruhi persepsi kita. Individu-individu memasuki suatu organisasi dengan gagasan yang dikonsepsikan sebelumnya mengenai apa yang “seharusnya” dan “tidak seharusnya”. Tentu saja gagasan-gagasan itu sendiri tidak bebas nilai.

Lebih lanjut Robbins (1991) menegaskan bahwa gagasan-gagasan tersebut mengandung penafsiran benar dan salah dan gagasan itu mengisyaratkan bahwa perilaku tertentu akan memperkeruh obyektivitas dan rasionalitas. Di bagian lain Robbins (1991:159) menyatakan “Values generally influence attitudes and behavior” (umumnya nilai mempengaruhi sikap da perilaku).

Tipe-tipe Nilai

Spranger (Alisyhbana, 1986) menggolongkan tipe nilai menjadi enam berdasarkan enam lapangan kehidupan manusia yang membuat manusia berbudaya. Keenam lapangan itu ialah: (1) lapangan pengetahuan; (2) lapangan ekonomi; (3) lapangan estetik; (4) lapangan politik; dan (5) lapangan religi. Robbins (1991:159-160) merujuk pendapat Allport, dan kawan-kawannya juga membagi tipe nilai menjadi enam, yaitu: (1) theoritical, (2) economic, (3) aesthetic, (4) social, (5) political, dan (6) religious. Dari keenam tipe nilai tersebut kemudian Spranger menggolongkan perilaku manusia ke dalam enam golongan atau tipe, yaitu: (1) theoretical man (concerned with truth and knowledge); (2) economic man (utilitarian); (3) esthetic man (art and harmony); (4) social man (humansitarian); (5) political man (power and control); dan (6) religious man. Dapat diartikan bahwa tipe nilai dapat digolongkan menjadi enam yaitu: (1) manusia teoritis (konsen terhadap kebenaran dan pengetahuan), (2) manusia ekonomik (utilitarian), (3) manusia estetik (seni dan harmoni), (4) manusia sosial (manusiawi), (5) manusia politik (kekuasaan dan pengawasan), dan (6) manusia religius (agama) .

Scheler menyatakan bahwa nilai-nilai yang ada tidaklah sama luhur dan sama tingginya. Nilai-nilai itu secara nyata ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai-nilai lainnya. Menurut tinggi rendahnya, nilai-nilai dikelompokkan dalam 4 tingkatan sebagai berikut:
Nilai-nilai kenikmatan: dalam tingkat ini terdapat deretan nilai-nilai yang mengenakkan dan tidak mengenakkan, yang menyebabkan orang senang atau menderita.
Nilai-nilai kehidupan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai yang lebih penting bagi kehidupan, misalnya: kesehatan, kesegaran badan, kesejahteraan umum.
Nilai-nilai kejiwaan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai yang sama sekali tidak tergantung pada keadaan jasmani maupun lingkungan, seperti misalnya kehidupan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai dalam filsafat.
Nilai-nilai kerohanian: dalam tingkat ini terdapat modalitas nilai dari suci dan tak suci. Nilai-nilai semacam ini terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi dan nilai kebutuhan .




Dalam pergaulan sehari-hari kita menemukan istilah mentalitas. Mentalitas adalah kemampuan rohani yang ada dalam diri seseorang, yang menuntun tingkah laku serta tindakan dalam hidupnya. Pantulan dalam tingkah laku itu menciptakan sikap tertentu terhadap hal-hal serta orang-orang di sekitarnya. Sikap mental ini sebenarnya sama saja dengan sistem nilai budaya (culture value system) dan sikap (attitude).

Sistem nilai budaya (atau suatu sistem budaya) adalah rangkaian konsep abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar suatu warga masyarakat. Hal itu menyangkut apa dianggapnya penting dan bernilai. Maka dari itu suatu sistem nilai budaya merupakan bagian dari kebudayaan yang memberikan arah serta dorongan pada perilaku manusia.
 Sistem tersebut merupakan konsep abstrak, tapi tidak dirumuskan dengan tegas. Karena itu konsep tersebut biasanya hanya dirasakan saja, tidak dirumuskan dengan tegas oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Itu lah juga sebabnya mengapa konsep tersebut sering sangat mendarah daging, sulit diubah apalagi diganti oleh konsep yang baru.

Bila sistem nilai budaya tadi memberi arah pada perilaku dan tindakan manusia, maka pedomannya tegas dan konkret. Hal itu nampak dalam norma-norma, hukum serta aturan-aturan. Norma-norma dan sebagainya itu seharusnya bersumber pada, dijiwai oleh serta merincikan sistem nilai budaya tersebut.
Konsep sikap bukanlah bagian dari kebudayaan. Sikap merupakan daya dorong dalam diri seorang individu untuk bereaksi terhadap seluruh lingkungannya. Bagaimana pun juga harus dikatakan bahwa sikap seseorang itu dipengaruhi oleh kebudayaannya. Artinya, yang dianut oleh individu yang bersangkutan.

Dengan kata lain, sikap individu yang tertentu biasanya ditentukan keadaan fisik dan psikisnya serta norma-norma dan konsep-konsep nilai budaya yang dianutnya. Namun demikian harus pula dikatakan bahwa dalam pengamatan tentang sikap-sikap seseorang sulitlah menunjukkan ciri-cirinya dengan tepat dan pasti. Itulah juga sebabnya mengapa tidak dapat menggeneralisasi sikap sekelompok warga masyarakat dengan bertolak (hanya) dari asumsi yang umum saja.


Sumber: http://dreamerssehati.blogspot.com/2009/10/pengertian-sistem-sosial-budaya.html

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More